Minggu, 27 September 2009

Sukses Buat Mahasiswa

kelulusan mahasiswa yang berkualitas ditentukan oleh:
keaktifan organisasi 20,32%
mengasah bahasa inggris 18,60 %
tekun/fokus belajar atau studi 17,70%
mengikuti perkembangan informasi 15,98%
memiliki pergaulan luas 15,07
mempelajari aplikasi komput...er 12,32 %

sumber: majalah tempo edisi khusus 20 mei 2007

Kamis, 24 September 2009

Peluang usaha


smart mesin



smart mesin



bisnis internet murah

Minggu, 13 September 2009

Agama vs. Bisnis

Jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadhan saya sempat sharing tentang 5 C: Kunci-Kunci Kesuksesan di hadapan teman-teman ESQ di aula RRI Mataram. Ada pun materi tersebut pernah saya sampaikan di Batam, Banjarmasin, Pekanbaru, dan dilanjutkan di Denpasar. Terus-terang, saya merasa terpanggil untuk mengembalikan makna bisnis pada prinsip-prinsip fitrahnya.

Apalagi, sebagai seorang yang beragama yang kebetulan bergelut di dunia bisnis, saya percaya bahwa sebenarnya prinsip-prinsip bisnis itu tidaklah berseberangan dengan nilai-nilai agama. Di dalam kitab suci, ada sepenggal kalimat yang berbunyi, “Allah telah menghalalkan jual-beli.” Dengan demikian, agama membenarkan bisnis. Agama membolehkan marketing. Bukankah aslinya definisi marketing itu selalu dibarengi dengan istilah solusi dan kepuasan?

Namun saya juga tidak bisa menutup mata. Cukup banyak ‘oknum’ pemasar yang mengingkari prinsip-prinsip dasar marketing, sehingga ujung-ujungnya menjauhkan pemasar dari nilai-nilai agama. Contohnya, pernak-pernik penipuan dalam kontrak, presentasi, promosi, penetapan harga dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan beberapa ciri pemasar menurut pandangan agama atau yang saya sebut dengan Spiritual Marketer. Satu hal yang mutlak digarisbawahi, uraian saya ini sama sekali tidak bermaksud untuk menceramahi ataupun menggurui. Tetapi, merupakan satu nasehat bagi diri saya sendiri, yang masih sarat dengan kekurangan-kekurangan.

Pertama-tama, sengaja saya mengutip titah sosok yang begitu berpengaruh dalam peradaban manusia (bahkan dianggap paling berpengaruh oleh Michael Hart), yakni Nabi Muhammad. Sabdanya, “Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila segumpal ini baik, maka baiklah seluruh tubuh. Apabila segumpal ini rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”

Artinya, semua berawal dan tergantung pada niat hati, di mana niat hati ini identik dengan nurani (conscience). Itu pula yang yang ditekankan oleh Stephen Covey dalam karya pamungkasnya The 8th Habit. Terus, apa relevansi antara niat hati dengan aktivitas marketing? Ketika niat beranjak dari heart ke head, maka niat itu berganti nama menjadi cita-cita. Sedangkan cita-cita itu sendiri terbagi dua, yaitu rational goal dan beyond rational goal. Orientasi terhadap materi semata, itulah yang dimaksud dengan rational goal.

Suatu ketika, saya pernah diminta untuk memotivasi sekelompok tenaga penjualan yang melempem penjualannya. Padahal perusahaan mengiming-imingi komisi yang cukup menggiurkan kepada mereka. Di situ saya tersadar. Dalam menekuni jual-beli sehari-hari, seorang pemasar hendaklah menempatkan niat atau cita-cita yang jauh lebih mulia daripada sekedar materi.

Di atas segalanya, cita-cita yang seharusnya adalah emotional goal hingga spiritual goal. Jadi, bukan rational goal lagi, tetapi lebih bersifat beyond rational goal. Misalnya, seorang pemasar sanggup bekerja dari pagi sampai malam. Sangat melelahkan. Namun, tetap ia jalani hari demi hari. Apakah ia mengincar uang sebagai cita-cita akhirnya? Ternyata tidak.

Rupanya, cita-cita akhirnya adalah menafkahi keluarganya, membantu orang tuanya, menolong sesamanya atau emotional goal lainnya. Sehingga, cita-cita yang mulia itu mampu menjadi bahan bakar yang luar biasa bagi pemasar untuk terus bekerja dan terus berkinerja.

Sebuah falsafah mengisyaratkan, “Sebisa-bisanya, jangan pernah merintis sesuatu hanya karena uang. Dan sebisa-bisanya pula, jangan pernah mengakhiri sesuatu hanya karena uang.” Pantas saja, tatkala ditanya mengenai rahasia kesuksesannya, Hermawan Kartajaya pun melontarkan tips, “Mulailah dari beyond money.”

Mau perumpamaan yang lain? Seekor induk ayam kita ketahui sebagai hewan yang penakut. Induk ayam pastilah akan menjauh saat berada di sekitar Anda. Betul begitu? Tetapi, cobalah ganggu anaknya. Hm, bagaimana reaksinya? Saya jamin, tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, induk ayam tersebut akan mengejar, bahkan menyerang si penganggu anaknya. Ternyata, seekor ayam sekalipun tidak luput dari sisi emosional. Dan itulah yang mengubahnya, dari makhluk yang penakut menjadi makhluk yang pemberani.

Sejenak, perkenankan saya bercerita tentang pengalaman pribadi saya sewaktu kuliah dulu di Malaysia. Ketika krisis ekonomi melanda, nilai tukar Rupiah terhadap Ringgit sempat anjlok. Saya pun terpaksa nyambil kerja lantaran kiriman uang dari orangtua sudah tidak memadai lagi. Apalagi kemudian ayah saya meninggal.

Saya pun mulai berbisnis kecil-kecilan di kampus. Yah, apa saja. Mulai dari ponsel, batik Indonesia, masakan khas Indonesia, minuman, hingga burger. Untuk burger, saya menggelutinya hampir setiap hari, dari jam enam sore sampai jam duabelas malam, selama lebih dari satu tahun. Jangan ditanya bagaimana penatnya. Tetapi bagi saya, itu bukan masalah.

Semasa itu, tekad saya hanya satu: saya dapat menghasilkan uang; saya dapat membiayai kuliah saya; saya dapat tamat dengan segera. Hari-hari pun berlalu. Setiap kali usai berjualan, saya merasakan kelelahan, bahkan kebosanan. Rupa-rupanya cita-cita menamatkan kuliah semata tidak cukup memicu dan memacu semangat saya.

Sampai sekali waktu, saya teringat pada nenek saya yang sedang sakit-sakitan di Indonesia. Menurut dokter, usianya tidak lama lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, teringin saya mengirim uang untuknya. Setidak-tidaknya, ia dapat menikmati uang dari jerih-payah saya –meskipun tidak seberapa.

Cita-cita kecil ini ternyata mampu memotivasi saya. Berjualan pun kembali saya tekuni –tidak kenal letih, tidak kenal bosan. Akhirnya, saya berhasil menyisihkan sedikit uang dan mengirimkannya kepada nenek saya. Terlihat di sini bagaimana emotional goal ­–bukan rational goal– telah menggerakkan saya (Kemudian saya ketahui, uang tersebut masih disimpan oleh nenek saya hingga akhir hayatnya).

Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan papan atas sekelas Sony, Johnson & Johnson dan Body Shop. Kini, selain menyibukkan diri dengan sisi rasional seperti bagian pasar, pertumbuhan dan laba, mereka juga mulai berkutat dengan sisi emosional. Apakah itu? Berupa passion untuk mempersembahkan produk-produk yang terbaik bagi seluruh umat manusia.

Namun itu semua belum cukup. Figur-figur tertentu bahkan meniatkan dan menargetkan spiritual goal, berupa keridhaan dan keberkahan dari Ilahi. Itulah niat yang adiluhung dan tak tergantikan oleh apapun. Jadi, bisa dikatakan hirarkinya adalah rational goal, emotional goal, terus spiritual goal.

Paradigma terhadap tujuan ini juga kerap ditegaskan oleh Aa Gym –figur yang sempat dijuluki Holy Man oleh majalah Time, “Andaikata tujuan telah ditetapkan dengan jelas, maka sepelan apapun kita bergerak, insya Allah merupakan satu kemajuan. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki tujuan yang jelas, maka segigih apapun ia bergerak, bukan mustahil ia menuju kemunduran malah kehancuran.”

Oleh karena itulah menurut Aa Gym, baik dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari, sekurang-kurangnya ada tiga tujuan yang sama sekali tidak boleh diabaikan oleh manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Pertama, ibadah (kepada Tuhan). Kedua, khalifah (bermanfaat bagi sesama). Ketiga, dakwah (teladan bagi sesama). Setuju?

ESQ - Telkomsel

Member yang memiliki nomor Telkomsel, silakan akses *165# dan nikmati konten-konten ESQ.

Jumat, 11 September 2009

Muda & Kaya, Kok Bisa?

Dengan simpanan Rupiah dan aset sebesar US$ 310 juta, jadilah ia satu dari duapuluh orang paling makmur di tanah air pada tahun 2006. Hebatnya, itu semua dikantonginya di usia yang relatif muda, yakni 40-an. Begitu luar biasa dirinya, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah puluhan tahun menjadi penerus bisnis keluarga, tidak bisa mengungguli total kemakmurannya.

Latar belakang pendidikannya adalah dokter gigi. Tetapi alih-alih buka praktik sebagai dokter gigi, ia lebih getol buka usaha kecil-kecilan semenjak kuliah di Universitas Indonesia. Diawali kucuran dana Rp 150 juta dari Bank Exim (sekarang sudah dilebur menjadi Bank Mandiri), dengan nyali yang menyala-nyala, pria kelahiran 16 Juni 1962 ini mendirikan pabrik sepatu anak-anak dengan merek Butterfly.

Di bawah panji Para Group yang dimilikinya, ia mengambilalih Bank Mega pada tahun 1996 dan menyulap Bank Tugu menjadi Bank Mega Syariah akhir tahun 90-an. Imperium bisnisnya yang lain adalah Trans TV dan Trans 7, yang didukung 20-an menara pemancar. Program-program televisi andalannya diklaim lebih kreatif ketimbang saingan-saingannya. Sebut saja Bajaj Bajuri, Extravaganza, dan Empat Mata. Ia juga membangun Bandung Supermall yang mentereng di lahan seluas 3 hektar yang menelan dana nyaris Rp 100 milyar. Siapakah dia? Tak lain, tak bukan, dialah Chaerul Tanjung.

Pengusaha penuh nyali yang pernah dianugerahi oleh sebuah media cetak sebagai salah seorang tokoh bisnis paling berpengaruh ini, dinilai prestasinya tidak sesederhana penampilannya. Tiga pilihan bidang bisnisnya –yakni keuangan, multimedia dan properti– menunjukkan prestasi yang serba kemilau dan memukau. Bahkan terealisir dalam waktu yang sangat singkat! Salah satu rahasianya, selain bernyali, sejauh ini ia dianggap lihai dan piawai menjalin hubungan dengan penguasa dan sesama pengusaha, termasuk keluarga Salim.

Uniknya, ia pernah digosipkan dekat dengan Maia Ahmad, personil Ratu. Apalagi Maia tiba-tiba bisa saja menjadi bintang tamu rutin di Extravaganza. Terlepas itu, sebagai pemimpin di Yayasan Indonesia Forum, dia merumuskan Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030 yang disebut-sebut Presiden SBY sebagai visi nasional. "Kita memerlukan suatu pandangan objektif terhadap masa depan bangsa Indonesia dalam jangka panjang. Yakni, suatu visi yang positif dan optimis bahwa kita bisa menjadi negeri terpandang di mata dunia internasional," ujarnya.

Awal 2006, Chaerul dikabarkan memasuki bisnis pembangkit listrik energi panas bumi (geothermal) dengan meneken kesepakatan kerja sama operasi dengan Direktur Utama PT Pertamina Widya Purnama di Jakarta. Investasi nekat ini diperkirakan menguras biaya US$ 1,5 miliar atau Rp 15 triliun. Modal pengembangannya berasal dari patungan antara Grup Para dengan Pertamina. Bila masih kurang, ia berencana menambalnya dengan membuka infrastructure fund, sehingga investor lain bisa nimbrung.

Proyek ini akan berjalan selama 10 tahun dan rencananya akan menggamit PT PLN sebagai pembeli listrik. Betul-betul cerdik! Tentunya listrik dari panas bumi lebih murah dibandingkan dari pembangkit yang berbahan bakar minyak. Ancar-Ancarnya, listrik besutannya akan dijual 25 persen lebih murah. Ia adalah pengusaha pertama yang berinvetasi di bisnis panas bumi. Selama ini pengusaha lain tidak bernyali menerobos bisnis ini, karena dicap rawan resiko. Berani, itulah ciri utama dirinya yang membedakannya dengan pengusaha kebanyakan. Tetapi bukan sekedar berani, melainkan keberanian yang dibungkus dengan kreativitas.