Minggu, 13 September 2009

Agama vs. Bisnis

Jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadhan saya sempat sharing tentang 5 C: Kunci-Kunci Kesuksesan di hadapan teman-teman ESQ di aula RRI Mataram. Ada pun materi tersebut pernah saya sampaikan di Batam, Banjarmasin, Pekanbaru, dan dilanjutkan di Denpasar. Terus-terang, saya merasa terpanggil untuk mengembalikan makna bisnis pada prinsip-prinsip fitrahnya.

Apalagi, sebagai seorang yang beragama yang kebetulan bergelut di dunia bisnis, saya percaya bahwa sebenarnya prinsip-prinsip bisnis itu tidaklah berseberangan dengan nilai-nilai agama. Di dalam kitab suci, ada sepenggal kalimat yang berbunyi, “Allah telah menghalalkan jual-beli.” Dengan demikian, agama membenarkan bisnis. Agama membolehkan marketing. Bukankah aslinya definisi marketing itu selalu dibarengi dengan istilah solusi dan kepuasan?

Namun saya juga tidak bisa menutup mata. Cukup banyak ‘oknum’ pemasar yang mengingkari prinsip-prinsip dasar marketing, sehingga ujung-ujungnya menjauhkan pemasar dari nilai-nilai agama. Contohnya, pernak-pernik penipuan dalam kontrak, presentasi, promosi, penetapan harga dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan beberapa ciri pemasar menurut pandangan agama atau yang saya sebut dengan Spiritual Marketer. Satu hal yang mutlak digarisbawahi, uraian saya ini sama sekali tidak bermaksud untuk menceramahi ataupun menggurui. Tetapi, merupakan satu nasehat bagi diri saya sendiri, yang masih sarat dengan kekurangan-kekurangan.

Pertama-tama, sengaja saya mengutip titah sosok yang begitu berpengaruh dalam peradaban manusia (bahkan dianggap paling berpengaruh oleh Michael Hart), yakni Nabi Muhammad. Sabdanya, “Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila segumpal ini baik, maka baiklah seluruh tubuh. Apabila segumpal ini rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”

Artinya, semua berawal dan tergantung pada niat hati, di mana niat hati ini identik dengan nurani (conscience). Itu pula yang yang ditekankan oleh Stephen Covey dalam karya pamungkasnya The 8th Habit. Terus, apa relevansi antara niat hati dengan aktivitas marketing? Ketika niat beranjak dari heart ke head, maka niat itu berganti nama menjadi cita-cita. Sedangkan cita-cita itu sendiri terbagi dua, yaitu rational goal dan beyond rational goal. Orientasi terhadap materi semata, itulah yang dimaksud dengan rational goal.

Suatu ketika, saya pernah diminta untuk memotivasi sekelompok tenaga penjualan yang melempem penjualannya. Padahal perusahaan mengiming-imingi komisi yang cukup menggiurkan kepada mereka. Di situ saya tersadar. Dalam menekuni jual-beli sehari-hari, seorang pemasar hendaklah menempatkan niat atau cita-cita yang jauh lebih mulia daripada sekedar materi.

Di atas segalanya, cita-cita yang seharusnya adalah emotional goal hingga spiritual goal. Jadi, bukan rational goal lagi, tetapi lebih bersifat beyond rational goal. Misalnya, seorang pemasar sanggup bekerja dari pagi sampai malam. Sangat melelahkan. Namun, tetap ia jalani hari demi hari. Apakah ia mengincar uang sebagai cita-cita akhirnya? Ternyata tidak.

Rupanya, cita-cita akhirnya adalah menafkahi keluarganya, membantu orang tuanya, menolong sesamanya atau emotional goal lainnya. Sehingga, cita-cita yang mulia itu mampu menjadi bahan bakar yang luar biasa bagi pemasar untuk terus bekerja dan terus berkinerja.

Sebuah falsafah mengisyaratkan, “Sebisa-bisanya, jangan pernah merintis sesuatu hanya karena uang. Dan sebisa-bisanya pula, jangan pernah mengakhiri sesuatu hanya karena uang.” Pantas saja, tatkala ditanya mengenai rahasia kesuksesannya, Hermawan Kartajaya pun melontarkan tips, “Mulailah dari beyond money.”

Mau perumpamaan yang lain? Seekor induk ayam kita ketahui sebagai hewan yang penakut. Induk ayam pastilah akan menjauh saat berada di sekitar Anda. Betul begitu? Tetapi, cobalah ganggu anaknya. Hm, bagaimana reaksinya? Saya jamin, tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, induk ayam tersebut akan mengejar, bahkan menyerang si penganggu anaknya. Ternyata, seekor ayam sekalipun tidak luput dari sisi emosional. Dan itulah yang mengubahnya, dari makhluk yang penakut menjadi makhluk yang pemberani.

Sejenak, perkenankan saya bercerita tentang pengalaman pribadi saya sewaktu kuliah dulu di Malaysia. Ketika krisis ekonomi melanda, nilai tukar Rupiah terhadap Ringgit sempat anjlok. Saya pun terpaksa nyambil kerja lantaran kiriman uang dari orangtua sudah tidak memadai lagi. Apalagi kemudian ayah saya meninggal.

Saya pun mulai berbisnis kecil-kecilan di kampus. Yah, apa saja. Mulai dari ponsel, batik Indonesia, masakan khas Indonesia, minuman, hingga burger. Untuk burger, saya menggelutinya hampir setiap hari, dari jam enam sore sampai jam duabelas malam, selama lebih dari satu tahun. Jangan ditanya bagaimana penatnya. Tetapi bagi saya, itu bukan masalah.

Semasa itu, tekad saya hanya satu: saya dapat menghasilkan uang; saya dapat membiayai kuliah saya; saya dapat tamat dengan segera. Hari-hari pun berlalu. Setiap kali usai berjualan, saya merasakan kelelahan, bahkan kebosanan. Rupa-rupanya cita-cita menamatkan kuliah semata tidak cukup memicu dan memacu semangat saya.

Sampai sekali waktu, saya teringat pada nenek saya yang sedang sakit-sakitan di Indonesia. Menurut dokter, usianya tidak lama lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, teringin saya mengirim uang untuknya. Setidak-tidaknya, ia dapat menikmati uang dari jerih-payah saya –meskipun tidak seberapa.

Cita-cita kecil ini ternyata mampu memotivasi saya. Berjualan pun kembali saya tekuni –tidak kenal letih, tidak kenal bosan. Akhirnya, saya berhasil menyisihkan sedikit uang dan mengirimkannya kepada nenek saya. Terlihat di sini bagaimana emotional goal ­–bukan rational goal– telah menggerakkan saya (Kemudian saya ketahui, uang tersebut masih disimpan oleh nenek saya hingga akhir hayatnya).

Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan papan atas sekelas Sony, Johnson & Johnson dan Body Shop. Kini, selain menyibukkan diri dengan sisi rasional seperti bagian pasar, pertumbuhan dan laba, mereka juga mulai berkutat dengan sisi emosional. Apakah itu? Berupa passion untuk mempersembahkan produk-produk yang terbaik bagi seluruh umat manusia.

Namun itu semua belum cukup. Figur-figur tertentu bahkan meniatkan dan menargetkan spiritual goal, berupa keridhaan dan keberkahan dari Ilahi. Itulah niat yang adiluhung dan tak tergantikan oleh apapun. Jadi, bisa dikatakan hirarkinya adalah rational goal, emotional goal, terus spiritual goal.

Paradigma terhadap tujuan ini juga kerap ditegaskan oleh Aa Gym –figur yang sempat dijuluki Holy Man oleh majalah Time, “Andaikata tujuan telah ditetapkan dengan jelas, maka sepelan apapun kita bergerak, insya Allah merupakan satu kemajuan. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki tujuan yang jelas, maka segigih apapun ia bergerak, bukan mustahil ia menuju kemunduran malah kehancuran.”

Oleh karena itulah menurut Aa Gym, baik dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari, sekurang-kurangnya ada tiga tujuan yang sama sekali tidak boleh diabaikan oleh manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Pertama, ibadah (kepada Tuhan). Kedua, khalifah (bermanfaat bagi sesama). Ketiga, dakwah (teladan bagi sesama). Setuju?

1 komentar:

  1. Terima kasih kerana menjadi follower www.syahrulnizam.com.

    Jika ada akaun Facebook, jadilah teman saya: http://www.facebook.com/syahrulnjunaini

    BalasHapus